Tataran Karya Non Ilmiah
Karya non ilmiah menurut saya adalah bahasa yang menggunakan kata tidak baku atau bahasa tidak baku yang biasa dipakai oleh anak-anak remaja sekarang yang di sebut dengan bahasa gaul. Karya non ilmiah bisa berupa karangan cerpen, novel dan puisi.
Berikut ini adalah contoh karya non ilmiah yang saya kutip dari sebuah buku Mahir Berbahasa Indonesia :
Pencuri
Ia berjalan dengan langkah yang ringan tanpa tergesa-gesa, tanpa mengendap-endap. Daerah pinggiran seperti ini, memang tidak terlampau padat dengan rumah. Di sana sini masih rimbun rumpun pisang, lalu tanah yang kosong, semak-semak belukar, tanaman lantana, dan putri malu. Langit cerah dan matanya yang tua masih cukup awas. Ia terus melangkah tenang melewati jalan tikus yang terbentuk oleh rumput yang mati terinjak. Tiba-tiba dari balik semak-semak muncul seseorang sambil mengancing celana.
“Selamat malam,” sapanya. Orang itu terkejut, lalu tanpa menjawab apa-apa membalikkan tubuh, meneruskan usahanya menarik ritsleting celananya.
“Mau kemana, Pak?” orang itu berkata sambil membalik ke arahnya.
“Ke kampung sebelah.”
“Mari, Pak,” orang itu menunduk-nunduk lalu buru-buru melanjutkan perjalanannya.”Silakan,” ujarnya sambil terus berjalan.
Sesudah berjalan cukup lama, ia tiba di dekat sebuah rumah besar. Teras depannya luas dengan lampu yang benderang dengan beberapa set kursi. Ada lukisan atau barangkali foto berbingkai, tanaman kuping gajah dalam pot, lampu gantung Kristal yang tidak menyala. Dari dalam terdengar music yang keras, hingar binger tidak keruan, yang serasa tidak sesuai dengan suasana pedesaan yang masih kental di derah itu. Di samping rumah tampak ada mobil jenis minibus.
Ia berhanti sejenak. Meneliti daerah sekitar rumah, kemudian dengan langkah yang pasti ia berjalan menuju ke sebatang pohon beringin besar yang tumbuh di sebelah utara rumah yang menghadap ke timur itu. Ia memanjat pohon beringin itu dengan mudah, lewat daya ingat yang sudah terlatih. Dan tanpa kesulitan apa-apa, ia menemukan batang yang cukup lebar merentang sejajar dengan tanah dan dengan hati-hati ia mendudukkan dirinya sambil menyandar ke batang utama.
Dari situ dengan bebas ia bisa memperhatikan bagian belakang rumah itu. Ada keinginan yang kuat untuk merokok apalagi dengan nyamuk yang mengiang-ngiang di kupingnya. Seluruh tubuh sudah dilulurinya dengan salep anti nyamuk. Tetapi yang membuat ia merasa gembira adalah bahwa ia masih memiliki kemantapan perasaan yang sama, seperti ketika ia masih sepenuhnya mengerjakan kegiatan ini sebagai pekerjaan tetap.
Sesudah beberapa saat, ia mengeluarkan cangklongnya, lalu menyulutnya. Dalam keadaan seperti ini, ia selalu siap dengan cangklongnya yang memakai penutup, yang konon dipergunakan orang ketika berada di medan pertempuran. Cangklong itu diambilnya di rumah seorang asing ketika ia melakukan tugasnya di sana.
Ia tahu betul isi rumah yang sedang diawasinya ini; dihuni seorang janda dengan seorang anak perempuan yang sudah amat siap untuk menikah, tiga pelayan dan seorang sopir tua. Di samping itu, ada empat orang pegawai yang tinggal di luar. Janda yang terhitung paling kaya di daerah itu, hidup dari penyewaan kendaraan umum, yang selalu menerima setoran setiap sore dan menyetor lagi uangnya ke sebuah bank di kota. Ia sendiri sudah memperhitungkan berapa besar uang yang bisa dikumpulkan janda itu setiap menjelang malam hari penyewa-penyewa mobilnya yang mencapai dua puluh buah itu. Sedang si Anak gadis, sesudah menyelesaikan pendidikan di sebuah akademi pariwisata di kota, kini membuka sebuah warung serba ada yang menempel di bagian selatan rumah itu.
Lalu sebuah mobil muncul. Pasti berhenti di depan rumahnya, yang terhalan untuk bisa ia lihat. Ia tidak tahu siapa yang datang. Beberapa menit kemudian, terdengar lagu dikecilkan. Pasti yang punya rumah datang, ia memperkirakan.
Dari kejauhan, terdengar kentongan, baru pukul sebelas.
Ia memang mempunyai kebiasaan untuk menuggu di dekat sasarannya beberapa jam lamanya. Selain itu, cukup mempunyai banyak waktu untuk mempertimbangkan perasaannya, ia juga bisa memantau keadaan sasarannya dengan cukup mantap. Bukan sekali dua ia harus membatalkan usahanya, bilaman sesudah beberapa jam perasaan was-was tidak juga hilang.
Lalu ia mendengar bunyi mobil dihidupkan, kemudian tampak sorotan lampu mendahului mobil itu langsung menuju ke arah jalan besar. Lalu menghilang.
Lalu cahaya yang nampak di bagian depan rumah menghilang, pasti lampu dimatikan. Dan seperti yang sudah diharapkan, tak lama kemudian beberapa orang tampak berjalan di samping rumah. Para penjaga keamanan yang melakukan tugas mereka sebagai sebuah rutinitas, mulai dari waktu meronda keliling, langkah, dan bahkan harus membatuk.
Ia merasa ada yang bergerak di kakinya. Seerkor semut. Buru-buru ia menarik kakinya ke dekat tubuhnya, lalu mematikan semut itu dengan memencet bagian celana di mana semut itu berada. Kemudian kakinya kembali ia julurkan.
Beberapa bulan yang lalu, anaknya yang jadi insiyur datang menjemputnya di desa asalnya, lalu membawanya ke desa ini, di mana anaknya telah membangun sebuah rumah kecil dengan sebuah warung serba ada untuknya. Di kampungnya yang lama, ia juga mempunyai sebuah warung. Kendati cukup banyak yang membeli di situ, ia tidak mengharapkan apa-apa dari warung itu. Kerja sebagai pencuri jauh lebih sesuai dengan dirinya. Ia bisa menghargai dirinya sebagai pencuri.
Lampu dari lubang angin dan jendela kamar yang menghadap ke arahnya sudah padam entah kapan. Ia sedang sibuk membayangkan bagaimana pertama kali ia memutuskan untuk menjadi seorang pencuri sejak anaknya yang menjadi insiyur lahir. Ia menjadi pencuri karena kakeknya seorang pencuri dengan ilmu yang tinggi, yang diturunkan kepadanya tanpa sepengetahuan ayah maupun ibunya. Ia tersenyum mengungat bagaimana ia mencuri tabungan kakeknya ketika ia masih bersekolah di sebuah sekoalahn rakyat.
Istrinya sendiri sudah meninggal lima tahun yang lalu. Sesudah dalam keadaan sekarat memintanya untuk tidak mencuri lagi demi anaknya yang ketika ia sudah menjadi mahasiswa di Bandung sana. Ia ingat bahwa ketika itu ia sama sekali tidak bisa menjanjikan apa-apa, yang membuat istrinya meninggal dalam keadaan kecewa. Lalu ia mendengar orang batuk-batuk. Para penjaga keamanan yang datang dari arah mereka tadi pergi. Ia menarik kakinya yang kiri hingga lutunya dekat ketubuhnya, dan mulai memijat-mijat betisnya. Sesudah itu kakinya yang kanan ditariknya. Segenggam pasir yang dimasukkan ke dalam sebuah kantong celananya ia periksa. Dari kantong celana yang satunya lagi, ia mengeluarkan seutas pita merah, yang ia lilitkan ke kepalanya. Saat untuk beraksi sudah tiba.
Pagi itu untuk pertama kalinya semenjak ia pindah ke desa ini, ia tidak membuka warungnya. Ia tidur sampai ketika ada yang menggedor pintu depannya. Lalu ketika ia membuka pintu, anaknya menerobos masuk. Ia mengunci kembali pintu. Tampak kalau anaknya sedang marah.
“Ayah melakukan perbuatan terkutuk itu lagi?”
“Hei, apa yang kamu bilang?”
“Ayah semalam menggerayangi rumah ibu Rohmah, bukan?”
Keyakinan anaknya membuat ia tidak menyangkal. “Dari mana kau tahu itu rumah ibu Rohmah?”
“Itu calon mertua saya,” ujar anaknya.
“Oo. Jadi kau yang semalam datang mengantar calon istrimu itu, ya?”
Anaknya cuma menatapnya tajam, lalu wajahnya menjadi kuyu.
“Kenapa, Ayah?” Kenapa Ayah harus lakukan ini, dan terhadap calon keluarga kita sendiri?”
“Duduk.” Ujarnya tenang, tetapi dengan gaya memerintah. Anaknya menarik kursi meja makan lalu duduk. Ia lalu mengambil gelas, menungkan air dari ceret lalu meneguknya.
“Sebaiknya kau tidak bicara seperti orang main drama. Saya tidak menolak tuduhanmu, dan itu sudah cukup. Dengar dulu … saya masih bicara! Saya tidak mengenal mereka, dan tidak tahu kalau punya hubungan dengan kau. Kalau saya mencuri, itu karena ada dorongan yang selalu memakasa saya untuk terus melakukan hal itu. Saya …”
Sebuah ketokan di pintu membuat ia menghentikan omongannya. Ia langsung membuka pintu. Seorang anak kecil dengan wajah takut san waswas berdiri di depannya.
“Warung Bapak tutup, ya?”
“Ya, saya agak kurang enak badan. Ada yang perlu?”
“Ibu menyuruh saya …”
“Sini, masuk” Ia membimbing anak itu masuk. “Namamua Ari, bukan?” Lalu dengan agak mendorong ia membawa anak itu menuju pintu samping rumah yang membuka ke warungnya. “ Ambil sendiri yang di perlukan ibumu,” ujarnya ramah.
“Adik yang masih bayi perlu susu …”
“Masuklah,” ia mendorong anak itu, tetapi tampaknya anak itu menolak.
Anak itu memandangnya ragu-ragu. “Kata ibu, utang yang lalu …”
“Masuklah dan ambil sendiri.” Jangan takut, Nak.”
Anak itu masuk, mengambil beras beberapa liter, gula, dan kopi serta susu kaleng untuk bayi. Ia sendiri berjalan ke belakang menuju kamar kecil.
Ketika ia berbalik, anak itu sedang berdiri di depan pintu menunggunya.
“Sudah?”
“Sudah, Pak. Saya sudah catat di buku utang. Terima kasaih …”
Ia membukakan pintu lalu menguncinya.
“Kau tidak usah tanya kenapa saya harus mencuri. Warung ini nyaris tidak memberikan penghasilan apa-apa. Kau lihat anak kecil tadi, dan hampir besar desa ini tergantung dari utang yang saya kasih. Utang yang semakin lama semakin bertumpuk.”
“Ayah tidak bisa kasih hati seperti itu pada orang-orang ini.”
“Caranya? Dengan mengusir mereka pulang dengan tangan kosong dan perut yang kelaparan? Atau menyeret mereka ke pengadilan? Mungkin kau benar, tetapi saya Cuma tidak mampu melakukannya.”
“Bagaimana kalau Ayah tertangkap polisi?”
“Itu risiko. Tetapi kau harus tahu, saya menghargai ini sebagai pekerjaan yang harus professional dan sempurna. Mereka membutuhkan keahlian yang tinggi untuk bisa melacak saya.”
“Bisa hancur hidup saya kalau orang-orang tahu Ayah mencuri di rumah itu.”
“Saya masih terlalu mengantuk, Tri. Sebaiknya kau beri kesempatan saya beristirahat dulu.”
“Ayah kelihatannya tidak mempedulikan kepentngan saya, tidak peduli nasib saya.”
“Lalu bagaimana kau bisa menjadi insiyur? Dan apa kaupikir biaya yang setiap bula saya kirim dan bisa membuat hidup kau di Bandung tidak berkekurangan itu hasil dari warung ibumu? Camkan, Nak. Itu semua hasil kerja yang kau sebut tadi perbuatan terkutuk.”
Anaknya terpana.
“Dari mana kau tahu kalau saya yang mencuri semalam di rumah setan blau itu?”
“Ibu pernah bercerita, kalau Ayah mencuri di mana-mana, ada kebiasaan Ayah untuk membuka lemari makan mereka dan melahap apa yang ada dan membiarkan piring kotor dengan sedikit sisa makanan di atas meja.”
Ia tersenyum. Lalu berkembang menjadi tawa lepas. Ada rasa bangga yang ia perlihatkan ketika mengatakan, “Orang yang besar selalu harus membiarkan dirinya punya kebiasaan yang unik.”
Anaknya yang insiyur itu bangun. “Begini, Ayah. Saya tidak mampu menghalangi kenyataan ini. Saya ingin sekarang juga Ayah pilih, tetap melakukan pencurian dan kita tidak saling kenal lagi atau Ayah berhenti mencuri.”
“Itu dua hal yang tidak bisa dijadikan pilihan. Sungguh tidak sebanding, karena kedunya sesuatu yang amat prinsipil dalam hidup sya. Tetapi kalau kau memaksa, saya dengan ikhlas memilih yang pertama. Toh, kau sudah hidup mandiri.” Ia menatap anaknya tegas. Dan sesudah beberapa jenak kemudian ia berkata lagi, “Nah, saya benar-benar sangat mengantuk dan tak mampu membendungnya lagi.”
Ia berjalan menuju ke pintu lalu membukanya.
Anaknya bangun, lalu dengan lesu berjalan menuju ke pintu. Ketika anaknya lewat di depannya ia berkata, “Ini ada sebuah pertanyaan yang tak perlu kau jawab. Apakah masih ada orang di negeri ini yang tidak mencuri?”
Sumber : Kompas, 7/6/1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar