Sabtu, 27 Februari 2010
Bahasa Indonesia
Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
Pengertian Bahasa
Bahasa menurut Gorys Keraf (1997:1) merupakan alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang mengatakan bahwa ada alat komunikasi lain selain bahasa, misalnya, penggunaan alat, symbol dan lain sebagainya, namun hal ini sebanyak sekali kelemahannya.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan menggunakan media tadi, bahasa haruslah merupakan bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia.
Bahasa Yang Baik dan Benar
Bahasa yang baik : sesuai dengan sasaran kepada siapa bahasa tersebut disampaikan, disesuaikan dengan unsure, umur, agama, status social, lingkungan social dan suatu pandang khalayak sasaran.
Bahasa yang benar : berkaitan dengan aspek kaidah, yaitu peraturan bahasa (tata bahasa, pilihan kata, tanda baca dan ejaan)
Berikut ini adalah contoh menggunakan bahasa yang baik dan benar yang saya kuti dari blog lain :
http://tunas63.wordpress.com/2008/10/26/berbahasa-indonesia-dengan-sisipan-bahasa-daerah/
Ungkapan “saya ucapkan sugeng rawuh . . ., silakan dhahar seadanya” sering kita dengar dalam pertemuan tertentu. Maksud ungkapan ini, sudah jelas, untuk memberi penghormatan. Padahal, dalam bahasa Indonesia tidak dikenal strata seperti dalam bahasa daerah (Jawa). Tahun 1982, pada acara temu muka Guru dan Pembina Bahasa Indonesia pernah dibahas dan memunculkan rumusan bahwa (pengucapan) bahasa yang baik adalah (ucapan) bahasa Indonesia yang tidak memperlihatkan warna (ucapan) bahasa daerah. Pada kesempatan lain, Sutan Takdir Alisjahbana menegaskan “mengganti kata Indonesia yang sudah ada dengan bahasa daerah tak ada gunanya dan hanya akan mengacaukan bahasa Indonesia.
Berikut beberapa contoh ungkapan berbahasa Indonesia dengan warna bahasa daerah yang seharusnya kita hindari.
Saya ucapkan sugeng rawuh kepada Bapak Bupati.
Silakan dhahar seadanya.
Mari kita dengarkan dhawuh-dhawuh beliau.
Penuturan yang benar sesuai kaidah bahasa Indonesia
Saya ucapkan selamat datang kepada Bapak Bupati.
Silakan makan seadanya.
Mari kita dengarkan petunjuk-petunjuk beliau.
Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Alat Komunikasi
Sebagai alat komunikasi
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4). Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain.
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan dan pemikiran yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli atau menanggapi hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum..Dengan kata lain, kata besar atau luas,dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata makro akan memberikan nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks daripada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang.
Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia,
sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya,
sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan.
Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa
Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
Kutipan ini saya ambil dari “http://angel.ngeblogs.com/2009/11/01/peran-dan-fungsi-bahasa-indonesia/”
Semi Ilmiah
Tugas Tataran Karya Semi Ilmiah
Kebakuan bahasa dapat ditemukan pada semua tataran bahasa, yaitu pada tataran morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf dan pada wacana. Unsur-unsur kebakuan bahasa dapat meliputi ketepatan penggunaan tanda baca, ejaan, kata, (bentuk dasar dan bentuk jadian) dan struktur klausa atau kalimat (penggunaan konjungsi, susunan unsur-unsur bahasa yang fungsional).
Contohnya :
Ada Apa Dengan Sakit ?
Rata-rata orang yang gila kerja tidak merasa sakit kendati sedang sakit. Sebaliknya, orang yang hypochondriac selalu merasa sakit kendati sehat. Baron von Munhausen tercatat mahir melakukan peran secara meyakinkan sehingga dokter bedahnya berhasil dikelabui. Pasien begini merasa puas setiap kali dokternya kecele tidak menemukan penyakitnya.
Dalam keseharian pun kita melihat tidak semua yang datang ke dokter pasti sedang sakit. Wanita yang masuk kamar praktik dokter dengan dandanan menor, misalnya, hampir pasti tidak sedang sakit. Setidaknya tak ada yang tidak beres dengan badannya. Boleh jadi cuma lagi rindu pada dokternya.
Mungkin untuk urusan mengantar nenek pulang kampong, atau mertua kawin lagi, boleh jadi orang yang sebetulnya sehat minta dokter memberi label sakit. Besarnya otoritas dokter melabel sehat atau sakit, menjadi ruang bagi orang yang sebetulnya bukan pasien, dan tentu buat dokternya juga, bisa leluasa bersandiwara. Sebab suka atau tidak, setuju atau tidak setuju, sertifikat dokter legal di pengadilan hukum. Termasuk sertifikat yang dokter berikan kepada orang yang berpura-pura sakit.
Tarulah dokternya jujur. Orang ragu mengeluh ada rasa tidak enak di badan. Akan tetapi, keluhan tidak enak subjektif milik pasien. Andai keluhan Cuma dusta pun, dokter tidak bisa apa-apa. Sahih tidaknya keluhan sakit yang mengaku pasien belum tentu bisa dokter buktikan. Apalagi jika dokter tidak jujur.
Menjadi pelik jika orang yang mengaku pasien, misalnya menolak diajak dokternya, tidak mau bangkit dari kursi roda, mengaku tak mampu menjawab tes yang dokter berikan atau pengakuan dusta lainnya. Kondisi orang yang sebetulnya bukan pasien seperti itu berisiko menyesatkan dokter dalam menetapkan status medis. Itu sebab keluhan sakit yang dipercaya dokter bisa dijadikan tempat berlindung dan ruang sandiwara bagi pihak yang sebetulnya bukan pasien untuk berpura-pura sakit.
Ilmiah
Pengertian karangan ilmiah
Karangan ilmiah ialah karya tulis yang memaparkan pendapat, gagasan, tanggapan atau hasil penelitian yang berhubungan dengan kegiatan keilmuan.
Jenis karangan ilmiah banyak sekali, diantaranya makalah, skripsi, tesis, disertasi dan laporan penelitian. Kalaupun jenisnya berbeda-beda, tetapi keempat-empatnya bertolak dari laporan, kemudian diberi komentar dan saran. Perbedaannya hanyalah dalam kekomplekskannya.
Ciri-ciri karangan ilmiah
Karangan ilmiah mempunyai beberapa ciri, antara lain:
1. Jelas. Artinya semua yang dikemukakan tidak samar-samar, pengungkapan maksudnya tepat dan jernih.
2. Logis. Artinya keterangan yang dikemukakan masuk akal.
3. Lugas. Artinya pembicaraan langsung pada hal yang pokok.
4. Objektif. Artinya semua keterangan benar-benar aktual, apa adanya.
5. Seksama. Artinya berusaha untuk menghindari diri dari kesalahan atau kehilafan betapapun kecilnya.
6. Sistematis. Artinya semua yang dikemukakan disusun menurut urutan yang memperlihatkan kesinambungan.
7. Tuntas. Artinya segi masalah dikupas secara mendalam dan selengkap-lengkapnya.
Ragam ilmiah
Bahasa ragam ilmiah merupakan ragam bahasa berdasarkan pengelompokkan menurut jenis pemakaiannya dalam bidang kegiatan sesuai dengan sifat keilmuannya. Bahasa Indonesia harus memenuhi syarat diantaranya benar (sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku), logis, cermat dan sistematis.
Pada bahasa ragam ilmiah, bahasa bentuk luas dan ide yang disampaikan melalui bahasa itu sebagai bentuk dalam, tidak dapat dipisahkan. Hal ini terlihat pada ciri bahasa ilmu, seperti berikut ini.
1. Baku. Struktur bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku, baik mengenai struktur kalimat maupun kata. Demikian juga, pemilihan kata istilah dan penulisan yang sesuai dengan kaidah ejaan.
2. Logis. Ide atau pesan yang disampaikan melalui bahasa Indonesia ragam ilmiah dapat diterima akal. Contoh: “Masalah pengembangan dakwah kita tingkatkan.”Ide kalimat di atas tidak logis. Pilihan kata “masalah’, kurang tepat. Pengembangan dakwah mempunyai masalah kendala. Tidak logis apabila masalahnya kita tingkatkan. Kalimat di atas seharusnya “Pengembangan dakwah kita tingkatkan.”
3. Kuantitatif. Keterangan yang dikemukakan pada kalimat dapat diukur secara pasti. Perhatikan contoh di bawah ini:Da’i di Gunung Kidul “kebanyakan” lulusan perguruan tinggi. Arti kata kebanyakan relatif, mungkin bisa 5, 6 atau 10 orang. Jadi, dalam tulisan ilmiah tidak benar memilih kata “kebanyakan” kalimat di atas dapat kita benahi menjadi Da’i di Gunung Kidul 5 orang lulusan perguruan tinggi, dan yang 3 orang lagi dari lulusan pesantren.
4. Tepat. Ide yang diungkapkan harus sesuai dengan ide yang dimaksudkan oleh pemutus atau penulis dan tidak mengandung makna ganda. Contoh: “Jamban pesantren yang sudah rusak itu sedang diperbaiki.”Kalimat tersebut, mempunyai makna ganda, yang rusaknya itu mungkin jamban, atau mungkin juga pesantren.
5. Denotatif yang berlawanan dengan konotatif. Kata yang digunakan atau dipilih sesuai dengan arti sesungguhnya dan tidak diperhatikan perasaan karena sifat ilmu yang objektif.
6. Runtun. Ide diungkapkan secara teratur sesuai dengan urutan dan tingkatannya, baik dalam kalimat maupun dalam alinea atau paragraf adalah seperangkat kalimat yang mengemban satu ide atau satu pokok bahasan.
Dalam karangan ilmiah, bahasa ragam merupakan ragam bahasa berdasarkan pengelompokan menurut jenis pemakaiannya dalam bidang kegiatan. Sesuai dengan sifat keilmuannya, bahasa Indonesia harus memenuhi syarat diantaranya benar (sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia), logis, cermat dan sistematis. Karangan ilmiah mempunyai beberapa ciri, diantaranya: jelas, logis, lugas, objektif, seksama, sistematis dan tuntas.
Contohnya :
Pasal Bermata Dua
Sering kali warga masyarakat menyelesaikan kasus dugaan penyantetan dengan melakukan sumpah pocong. Soalnya, polisi tidak bisa menanganinya karena dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak diatur. Yang ada baru sebatas rancangan. Dalam Pasal 255 Rancangan Undang-undang tenatng KUHP dinyatakan, “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderiataan mental atau fisik seseorang dipidana penjara paling lama lima tahun”.
Antropolog dari Universitas Negeri Jember, Kusnadi, mengakui sumpah pocong efektif menangani kasus santen di tlatah Jember dan sekitarnya. Ini merupakan suatu mekanisme cultural masyarakat dalam bentuk pembuktian terbalik. Katanya, “Cara ini bisa diterima dan diyakini memiliki kebenaran dan nilai keadilan karena dipimpin oleh seorang tokoh yang alim dan langsung bersumpah di hadapan public dan Tuhan”.
Selama ini memang belum ada dukun santet yang bisa diseret ke pengadilan. Orang yang dituduh sebagai penyantet selalu diadili langsung oleh massa dengan cara keji, seperti yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1998 silam. Saat itu tak kurang dari 170 orang yang dituduh sebagai dukun santet mati dibantai oleh warga. Peristiwa serupa juga meletup di Ciamis, Jawa Barat, pada tahun 1999, dengan jumlah korban yang lebih besar, sekitar 200 orang tewas dihakimi warga.
Kusnadi kurang setuju soal santet dimasukkan dalam KUHP karena akan tetap sulit pembuktiannya. Ini juga bisa menjadi pisau bermata dua. Mungkin pasal ini bisa mengurangi praktik santet, tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh orang untuk mencelakakan atau menjebak orang lain lewat tuduhan palsu.
Hakim Agung, Benjamin Mangkoedilaga memperkirakan, pasal ini tidak akan efektif. Persoalannya, orang yang melakukan praktik itu dan menyewanya dipastikan tidak akan mengaku. Selan itu, “Bagaimana orang bisa yakin bahwa perbuatan santet itu yang menyebabkan kematian seseorang? Bisa saja karena sebab lain”. Ia menyarankan agar hal yang sulit diukur dan diselidiki sebab-akibatnya seperti santet tidak perlu diatur dalm KUHP.
Sumber : Tempo, Edisi 29 September-5 Oktober 2003, hal 126-127